Orang Dewasa Berperan Hentikan Kekerasan Pada Anak
Tidak ada satupun kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan. Kendati demikian, dalam banyak penelitian di lapangan membuktikan kebenaran bahwa kekerasan terhadap anak ada di setiap negara di dunia, melintasi budaya, kelas sosial, pendidikan, tingkat pendapatan dan asal-usul etnis.
Kenyataan lainnya, di setiap daerah, bertentangan dengan kewajiban hak-hak asasi manusia dan kebutuhan perkembangan anak, kekerasan terhadap anak secara sosial justru seringkali mendapat persetujuan, pembenaran bahkan dibenarkan oleh negara.
"Itu sebabnya kita sepatutnya menyatakan dengan gegap gempita tentang stop kekerasan terhadap anak. Sudah saatnya, mengingat anak telah menderita akibat kekerasan yang tidak terlihat dan tak terdengar oleh orang dewasa selama berabad-abad," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono saat peluncuran kampanye "Stop Kekerasan Pada Anak" bekerjasama dengan lembaga dunia untuk anak-anak, UNICEF, di Jakarta, belum lama ini.
Anak-anak, sesuai UU Perlindungan Anak (UUPA) No 23/2002 adalah orang berusia 18 tahun ke bawah. Hal yang sama disebutkan dalam pasal 1 Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi Indonesia pada dekade '90-an.Selanjutnya, dalam pasal 19 KHA menyebutkan definisi mengenai apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap anak. Ditegaskan, segala bentuk kekerasan mental dan fisik, cedera atau penggunaan, penelantaran atau perlakuan yang menjadikan anak terlantar, perlakuan salah atau eksploitasi serta penyalahgunaan seksual, adalah kekerasan terjadap anak.
"Berdasarkan definisi tersebut, UNICEF telah melaporkan adanya 40 juta anak korban kekerasan di dunia, Mulai dari dicubit, dijewer, dipukuli dengan kayu hingga dilacurkan untuk alasan ekonomi," kata Meutia.
Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini, tercatat ada sedikitnya 5 juta anak menderita lahir maupun bathin akibat tindak kekerasan, eksploitasi dan intimidasi. Anehnya, 80 persen kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang terdekat dalam lingkungan rumah tangga.
Anak-anak sesungguhnya terlahir dengan potensi dan kerentanannya, ketergantungannya kepada orang dewasa dan kekhasannya yang menjadikan anak-anak adalah pribadi yang unik.
"Hal itu pula yang membuat anak banyak memerlukan perlindungan dari kekerasan dan bukan sebaliknya," tandas Meutia.
Tidak Dilaporkan
Kekerasan terhadap anak memiliki bentuk beragam. Keragaman itu dipengaruhi bermacam faktor, karakter pribadi anak dan pelaku kekerasan hingga lingkungan fisik dan budayanya."Meski demikian, sebagian besar kekerasan terhadap anak tetap tersembunyi karena beberapa alasan, salah satu yang paling sering adalah ketakutan anak untuk melaporkan kekerasan yang terjadi pada dirinya sendiri," ujar Dr Irwan, pemerhati masalah anak dari Universitas Atma Jaya.
Kaitannya dengan keadaan tersebut, orang tua yang seharusnya melindungi anak, tetap diam saja bila pelakunya adalah keluarga terdekat atau tokoh masyarakat yang dihormati.
"Ketakutan sudah demikian mengakar dengan stigma yang seringkali diterapkan terhadap pelaporan tindak kekerasan," ujar Irwan.
Hal itu seringkali terjadi di tempat-tempat di mana 'kehormatan' keluarga ditempatkan di atas keselamatan dan kesejahteraan anak. Secara khusus, perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya tidak patut 'digembar-gemborkan' karena bisa mengakibatkan pengucilan, kekerasan lanjutana atau kematian.
Kekerasan yang secara sosial diterima, disebutkan Irwan, adalah langkah awal menuju pembenaran dan pembiaran berbagai kekerasan terhadap anak. Seringkali didapati, disiplin melalui hukuman fisik dan mempermalukan, menakut-nakuti hingga pelecehan seksual dipandang sebagai sesuatu yang normal.
"Khususnya ketika tidak ada akibat yang kasat mata dan cedera fisik yang parah, maka kekerasan fisik dan mental akan terus berlangsung dalam rumah tangga terhadap anak-anak kita," kata Irwan.
Kekerasan seringkali pula tidak diketahui, karena tidak ada cara aman dan terpercaya bagi anak atau orang dewasa untuk melaporkannya. Di beberapa belahan dunia bahkan banyak orang yang tidak percaya polisi, pekerja sosial atau orang lain dalam kekuasaan.
"Demikian juga yang terjadi di desa-desa, tidak ada instansi yang dapat diakses untuk melaporkan berbagai kasus kekerasan pada anak," ujar Irwan.
Mengingat betapa kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang-orang yang menjadi bagian dalam hidupnya seperti orang tua, teman sekolah, guru atau majikan, maka perlunya seluruh lapisan masyarakat menjadi pengawas, tidak bisa ditawar-tawar lagi.
"Jika Anda melihat anak-anak di lingkungan Anda mengalami kekerasan baik fisik, mental maupun ekonomi, sebaiknya Anda katakana stop. Jika tak mampu, laporkan segera ke pihak berwenang," ujar Irwan.